Sabtu, 04 Februari 2017

Belajar dari penderita lupus....


Hari Rabu kemarin saat ngantri dr THT di RS Dharmais, saya ngobrol dengan seorang ibu yang berasal dari kotanya Jokowi, Solo Jawa Tengah. Si ibu ini lagi mengantar bapak mertuanya. Bapak Mertuanya sama seperti saya menderita cancer nasofaring yang kata ibu harus diangkat pita suaranya, sehingga menjadi bisu selamanya. Alhadulillah saya tidak sampai mengalami sejauh itu. 


Yang menarik hati saya bukan cerita bapak mertuanya tetapi cerita tentang anak lelakinya. Si ibu bertutur bahwa dia baru setengah tahun kehilangan anak sulungnya. Anak yang dibanggakannya. Anak si ibu yang kuliah di fakultas kedokteran ini menderita penyakit lupus, penyakit langka yang belum tahu cara pengobatannya. Sebagai mahasiswa kedokteran ini tentu tahu apa yang dihadapinya. 


Si ibu bercerita, anaknya ini sangat kuat mentalnya, berusaha meyakinkan bundanya bahwa dia tahu apa yang harus dilakukan dan memperbanyak kebaikan di sisa umurnya. Anak si ibu tetap ingin menyelesaikan kuliahnya karena ingin membahagiakan orang tua walaupun orang tua. Itu dibuktikan dengan IPK terakhir 3,4. Kata si ibu ini anaknya aktif di organisasi sosial PMI, rajin membina PMR dan komunitas lupus, Kegiatan terakhir yang dilakukan berhasil mengumpulkan ratusan kantong darah.
Hari pada bulan puasa tahun lalu si anak berulang tahun ke 20. 


Beberapa hari kemudian, tepatnya hari jumat pagi anaknya mandi kemudian berwudu. Si ibu bertanya "kenapa kamu berwudu bukannya waktu sholat masih lama?" si anak menjawab "enggak papa saya cuma ingin dalam kondisi berwudu". Sejurus kemudian si anak ingin buang air besar. "bu kok perutku gak enak ya rasanya, aku ingin buang air besar". "udah nak kamu buang air ditempat tidur saja, ibu ambilin pespot" jawab ibunya. 

Tidak lama setelah buang air si anak pengen kencing. Si ibu buru2 mengambil pispot kembali namun terlambat si anak sudah ngompol di kasur. "gak papa nak ibu akan bersihkan".
"Aku ingin berwudu bu". "Sudahlah nak tayamum saja, gak papa kan kamu lagi sakit..." Akhirnya si anak hanya tayamum. Selang beberapa waktu kemudian kondisi sianak semakin menurun. Beberapa kantung darah yang dimasukkan ketubuhnya tak mampu menahan kehendak yang di Atas. Tepat di hari Jumat jam 11 di bulan ramadhan anak si Ibu menghadap yang maha kuasa.


" Saya ikhlas dengan penyakit anak saya, tapi yang membuat hati saya menangis adalah ketegaran anak saya menghadapi kondisinya" kata si Ibu sambil matanya berkaca kaca. 
Masya Allah...., terbayang bagaimana rasanya ketika tiba-tiba kematian menjadi terasa dekat.... saya salut dengan kekuatan mental anak si ibu. Membuat tenang lingkungannya dan bersiap diri mengumpulkan sebanyak mungkin kebaikan disisa waktu yang ada. Meninggal dalam kondisi berwudu, dalam kondisi suci, di hari jumat itu menjadi dambaan umat muslim. 


Bertambah lagi kekayaan hati dengan mendengarkan cerita si ibu... kita tidak boleh kalah oleh penyakit...benar kata orang tua kita “Wong urip iku mung mampir ngombe”. Manfaatkan sisa umur kita dengan sebaik baiknya.
Tetap semangat teman2 seperjuangan survivor cancer...SELAMAT HARI KANKER SEDUNIA .....(4 Februari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar