Selasa, 13 Januari 2015

Menata Hati, Menyiapkan Bekal Ukhrawi


Bencana silih berganti melanda negeri. Belum lama kita mendengar berita bencana erupsi Merapi, gunung Sinabung, gunung Gamalama, longsor Banjarnegara, banjir dimana-mana, dan kini kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Sekian banyak korban jiwa menyertai aneka bencana. Meninggal dunia dengan berbagai macam cara dan keadaannya. Saya ingin mengajak kita semua mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai peristiwa tersebut. Sangat banyak hikmah yang bisa kita petik, di antaranya;

1. Manajemen Perasaan Hati
Suatu saat anda sekeluarga ada kesempatan untuk berlibur sekeluarga ke Singapura. Sudah bisa terbayang betapa bahagia perasaan anda sekeluarga, terlebih anak-anak. Kebahagiaan itu mendadak sirna seketika tatkala tiba di bandara anda menjumpai pesawat sudah terbang meninggalkan anda sekeluarga. Anda terlambat melakukan boarding.
Rasa kecewa, sedih, marah bercampur aduk menjadi satu. Rusak sudah suasana bahagia pada hari itu, berganti menjadi situasi emosi dan badmood. Anda mendatangi kantor maskapai dan menumpahkan kemarahan serta kejengkelan atas peristiwa yang anda yakini tidak sepenuhnya kesalahan anda. Bahkan sudah berpikir untuk menulis di kolom surat pembaca pada harian nasional untuk mempersoalkan manajemen maskapai penerbangan yang mengecewakan anda tersebut.
Namun perasaan marah dan jengkel tersebut mendadak hilang seketika, tatkala mendengar berita bahwa pesawat yang meninggalkan anda tersebut mengalami kecelakaan yang menyebabkan penumpang dan awak pesawat dinyatakan hilang dan belum bisa ditemukan lokasi maupun penyebab kecelakaannya.
Ari Putro Cahyono beserta sepuluh anggota keluarganya, adalah salah satu contoh dari peristiwa ketinggalan pesawat tersebut. Ari yang warga Surabaya ini, pada akhirnya mengucap syukur karena gagal terbang bersama pesawat Air Asia QZ 8501 yang mengalami kecelakaan nahas, Ahad 28 Desember 2014 silam.
Ari sekeluarga gagal berangkat ke Singapura karena terlambat boarding. Mereka tiba di Bandara International Juanda, Surabaya, pada pukul 05.30 WIB. Menurut catatan yang tertera di tiket, pesawat AirAsia harusnya berangkat pukul 07.20 WIB. Namun ternyata mereka tidak membaca pesan melalui email dari maskapai bahwa pesawat yang ditumpanginya itu berangkat lebih awal.
Tentu saja Ari dan keluarga merasa bahagia karena tidak jadi terbang bersama QZ 8501. Namun ia pun mengaku sedih karena adanya kecelakaan tersebut dan juga empati dengan keluarga korban.
Coba perhatikan perasaan manusia yang amat sangat cepat berubah-ubah. Dari bahagia, menjadi sedih, menjadi bahagia lagi, dan sedih lagi, begitu seterusnya. Itulah sebabnya, agama mengajarkan “yang sedang-sedang saja”. Kalau senang tidak berlebihan, kalau sedih tidak berlebihan. Semua harus proporsional, tidak berlebihan.
Manajemen perasaan harus kita perhatikan, agar tidak mudah larut dalam kesedihan sebagaimana tidak mudah larut dalam kebahagiaan.
2. Ketetapan Waktu
Apakah kita bisa melarikan diri dari kematian? Tidak bisa, jika memang sudah tiba ketetapan waktu kematian kita. Sebaliknya, kita pasti akan terhindar dari kematian, jika memang itu belum tiba ketetapan waktu kematian kita.
Kisah Ari Putro Cahyono beserta sepuluh keluarganya yang selamat dari kecelakaan AirAsia menjadi contoh, bahwa jika memang belum tiba ketetapan waktu dari-Nya, pasti kita akan terhindar dari kematian. Bagaimanapun caranya, apapun alasannya.
Seperti yang dialami oleh Budi Rizal dan Syafruddin, walaupun dengan kondisi dan alasan yang berbeda dengan Ari. Seharusnya Budi Rizal dan Syafruddin ikut dalam penerbangan joy-flight Sukhoi Superjet SSJ-100, pada 9 Mei 2012 lalu. Bahkan keduanya juga sudah berada di dalam pesawat yang sebentar lagi terbang. Namun karena feeling, perasaan yang tidak enak, Syafruddin mengajak Budi Rizal turun. Mereka pun selamat dari kecelakaan pesawat tersebut.
Budi Rizal mengatakan, sesaat sebelum penerbangan, dirinya memang ada di dalam pesawat Sukhoi. Dia bahkan sempat berbincang-bincang dengan pilot dan kopilot yang berkewarganegaraan Rusia. Namun karena Syafruddin mendadak mengajaknya turun, iapun selamat dari kecelakaan.
Allah Ta’ala telah memberikan penjelasan, bahwa kematian itu adalah ketetapan dariNya. Jika telah tiba ketetapan waktu dariNya, tidak ada yang bisa mengajukan, tidak ada yang bisa mengundurkan.
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya” (QS. Ali Imran: 145).
“Tidak ada suatu umat pun yang dapat mendahului ajalnya dan tidak pula dapat memundurkannya” (QS. Al Hijr: 5; Al Mu’minun: 43).
3. Bukan Soal Naik Pesawat Terbang
Setiap ada kecelakaan pesawat terbang, masyarakat banyak yang takut naik pesawat. Namun setelah berlalu masa yang panjang tanpa ada kejadian kecelakaan, masyarakatpun merasa aman naik pesawat. Padahal kematian bukanlah persoalan naik pesawat. Mati adalah soal ketetapan waktu yang pasti. Dalam keadaan apapun kita menjumpainya.
Ketika takut naik pesawat karena khawatir jatuh, takut naik kapal karena khawatir tenggelam, takut naik kereta api karena khawatir tergelincir dari rel, takut naik bus karena khawatir tabrakan, takut naik motor karena khawatir diserempet, akhirnya orang memilih jalan kaki. Ternyata ia tertabrak truk saat berjalan kaki di trotoar. Mati juga.
"Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkanmu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh" (QS. An Nisa : 78).
"Katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya, sungguh akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS. Al Jumu’ah : 8).
Yang kita perlukan adalah bekal yang memadai untuk perjalanan menuju ukhrawi. Perjalanan hakiki untuk menemui Ilahi Rabbi. Mati itu urusan Allah Yang Maha Mengerti, kita harus siap kapanpun ketetapan waktu itu diberikan untuk kita jalani. (Ditulis oleh: Cahyadi Takariawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar